PENGARUH DUMPING BAGI
PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam ilmu ekonomi dumping merujuk
kpada segala jenis predatory pricing, namun kata tersebut sekarang umumnya
hanya digunakan dalam konteks hukum perdagangan internasional, dimana dumping
didefinisikan sebagai tindakan produsen disalah satu negara pengekspor produk
kenegaara lain dengan harga yang jebih murah dibandingkan dengan harga yang ada
dipasar pengekspor pada produk yang sama. Praktek dumping merupakan praktek
dagang yang tidak fair karenan bagi negara pengimpor, praktek dumping akan
menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam
negeri. Dengan terjadinya banjir barang dari pengekspor yang harganya jauh
lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis
kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis
dalam negeri, yang diikuti oleh dampakk ikutannya seperti pemutusan kerja
masal, penganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis didalam negeri.
dengan kata lain hakekat dumping sebagai praktek curang , bukan hanya karena
dumping dipergunakan untuk sebagai sarana untuk merebut pasarandi negara lain.
tapi bahkan dapat mematikan perusahaan domestik yang menghasilkan produk
sejenis.
Bahkan dumping pun dapat
memproduksi monopoli yang pada ujungnya merujuk pada persaingan tidak sehat,
monopoli dan persaingan tidak sehat ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. karena pada umumnya monopoli dapat menyebabkan
persaingan tidak sehat sebaliknya monopoli merupakan akibata dari persaingan
tidak sehat.
Persaingan sangat
dimungkinakan dalam dunia usaha, mengingat bahwa kebutuhan manusia yang relatif
tidak terbatas, dengan alat pemuas kebutuhan yang sangat terbatas. dimanapun
kapanpun para pengusaha melalui perssainga berusaha untuk meningkatkan kualitas
pelayanan terhadapa konsumen, meningkatkan jumlah produksi dan berusaha untuk
merebut pasar serta konsumen yang pada akhirnya merujuk pada suatu tindakan
monopolis yang sudah pasti merupakan persaingan tidah sehat.dansebagai
akibatnya adalah penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan efisien.
B .Rumusan Masalah
Seperti
yang saya uraikan pada latar belakang saya mengambil rumusan masalah sbb :
1
Bagaimanakah pengaruh Anti Dumping dalam perdagangan Internasional ?
2
Bagaimanakah Implementasi pengaturan Dumping menurut
Article VI GATT 1994 terhadap peraturan Indonesia ?
C.
Tinjauan
Pustaka
Dumping
dan perdagangan internasional
Dalam hasil perundingan uruguay dumping diatur dalam annex 1A
yang menjadi bagian intergral dan tidak terpisahkan dari persetujuan umum
tentang perdagangan GATT 1994 dan karenanya harus ditaati oleh semua negara
yang telah meratifikasinya.
Pengertian dumping diatur dalam
pasal 2 paragraf 2.1 yaitu for the purpose of the agreement,a product is to be
concidered of being dumped i.e introcduced into the commerce of another country
a less in than is normal value.terjemahan bebas dari arti tersebut adalah untuk
persetujuan ini,suatu produk dianggap sebagai dumping misalnya dijual dalam
perdagangan negara lain di bawah dari nilai normalnya[1].
Pengertian dumping dalam kamus
ekonomi diartikan sebagai praktek dagang yang dilakukan ekportir dengan menjual
komoditi di pasaran Internasional dengan harga kurang dari nilai wajar atau
lebih rendah dari pada harga barang tersebut di negerinya sndiri dari pada di
jual ke negara lain pada umumnya praktek ini dinilai tidak adil karena merusak
pasaran dan merugikan negara pesaing di negara pengimpor[2].Jadi
secara singkta dumping dapat dikatakan barang yang diimport dengan tingkat
harga eksport yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekport[3].
Suatu negara dapat dikatakan dumping
apabila nyata-nyata melakukan :
·
Adanya produk import yang dijual dengan harga
dumping[4]
·
Timbulnya kerugian atau ancaman kerugian
·
Adanya hubungan secara langsung antar kerugian
yang tibul dengan produk yang dijual dengan harga dumping
Ketiga
persyaratan tersebut harus terpenuhi agar penyelidikan dumping dapat
ditindaklajuti,sekalipun demikian tidak ada yang salah terhadap dumping apabila
terbukti bahwa hanya dumping satu-satunya bukti,maksudnya meskipun telah
menjadi produk import dengan harga dumping apabila tidak menimbulkan kerugian
pada produk-produk sejenis di negara pengimport tindakan dumping tidak dapat
dikenakan terhadap barang dengan harga dumping tersebut.Bahkan sebasliknya
konsumen diuntungkan karna dapat memilih produk-produk alternatif lainnya
dengan harga relatif lebih murah.
Demikian dengan halnya
faktor ketiga harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan
ancaman kerugian materil yang timbul dikarenakan adanya import dengan harga
dumping.sebab tanpa dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara keduan
faktor itu kerugian atau ancman kerugian materil yang diderita industri dalam
negeri mungkin disebabkan faktor-faktor lain misal menurun daya beli masyarakat
,berkurannya minat masyarakat terhadap produk yang ada di pasaran dan lain
sebagainya.
D.
Metode Pengumpulan
Data
Dalam
penyusunan makalah ini perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi yang benar yang sesuai dengan
permasalahan yang akan dibahas.Sehubungan dengan masalah tersebut dalam
penyusunan makalah ini saya menggunakan beberapa metode pengumpulan data yang
pertama browsing di internet,kedua dengan membaca buku[5].
E. Sistematika
Penulisan
Makalah
masalah Pengaruh Dumping bagi Perdagangan Internasional Indonesia ini disusun
dengan urutan sbb :
Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini dijelaskan tentang latar
belakang,rumusan masalah,metode pengumpulan data,dan sistimatika
penulisan.
Bab II Pembahasan
1
Bagaimanakah pengaruh Anti Dumping dalam perdagangan Internasional ?
2
Bagaimanakah Implementasi pengaturan Dumping menurut
Article VI GATT 1994 terhadap peraturan Indonesia ?
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Bab IV Daftar
Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengaturan Anti
Dumping Dalam Perdagangan Internasional
A. 1. Landasan Hukum Anti dumping
Dalam Tata Hukum Indonesia
Untuk dapat
melaksanakan tindakan antidumping, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum
anti dumping, baik berupa peraturan peraturan peundang-undangan maupun Komite
Antidumping. Beberapa peraturan yang mengatur tentang anti dumping dapat
dilihat pada bagan berikut ini:
A.2. Pengertian Dumping dan Anti
Dumping
Istilah Dumping merupakan
istilah yang dipergunakan dalam perdagangan internasional adalah praktik dagang
yang dilakukan oleh eksporter dengan menjual komodity di pasar Internasional
dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari harga barang
tersebut di negerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada
umumnya. Praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan
produsen pesaing di negara pengimpor (AF. Erawati dan JS. Badudu, 1996:37).
Sedangkan yang dimaksud dengan ”Anti dumping” adalah sanksi balasan yang
berupa bea masuk tambahan yang dikenakan atas suatu produk yang dijual di bawah
harga normal dari produk yang sama di negara pengekspor maupun pengimpor.
Menurut
Black,s Law Dictionary, pengertian dumping adalah:
“The act of
selling in quantity at very low price or practically regardless of the price;
also, selling goods abroad at less than the market price at home” (Henry Campbell, 1998: 347).
Dari definisi
tersebut di atas menunjukkan bahwa pengertian dumping, sering diekspresikan
sebagai perbuatan curang karena penjualan produk-produk untuk ekspor pada harga
yang lebih rendah dari nilai normal.
Selanjutnya
dalam Uruguay Round memberikan pengertian dumping yang baru, sebagai
penyempurnaan dalam Artikel VI GATT 1994 yang dituangkan dalam Artikel 2,
mengenai “Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI GATT 1994” sebagai
berikut:
“ For
purposes of this agreement, a product is to be considered as being dumped, i.e.
introduced into the commerce of another country at less that its normal value,
if the export price of the product exported from one country to another is less
then the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like
product when destined for consumption in the exporting country”.
Adapun suatu barang/produk yang
masuk secara dumping disebut ”barang dumping”, hal ini diatur dalam Pasal 1
ayat (1) PP.34 Tahun 1994 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan,
bahwa barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat Harga Ekspor
yang lebih rendah dari Nilai Normalnya di negara pengekspor.
Berdasarkan
pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa Dumping adalah suatu kegiatan
yang dilakukan oleh produsen atau eksporter yang melaksanakan penjualan
barang/komoditi di luar negeri atau negara lain (Negara pengimpor) dengan harga
yang lebih rendah dari harga normal barang sejenis baik di dalam negeri
pengekspor (eksporter) maupun di negara pengimpor (importer), sehingga
mengakibatkan kerugian bagi negara pengimpor.
A.3. Kriteria dan Jenis Dumping
Menurut Pasal
VI GATT 1994 bahwa kriterian dumping dapat dirinci sebagai berikut:
1.
Penentuan Dumping (the
Determination of Dumping).
Penentuan
dumping yang diatur dalam Bab I menyatakan bahwa, suatu produk dianggap sebagai
dumping apabila dalam perdagangan antar negara, produk tersebut dijual di bawah
nilai normal yaitu (Sukarmi, 2002: 27):
·
Harga dari produk serupa (like product) di pasar
dalam negeri negara peng-ekspor. Dalam hal ini harga pembanding (comparable
price) harus dilakukan berdasarkan perhitungan ex factory price (harga di
luar pabrik) dari penjualan dalam negeri dengan perhitungan ex factory price dari penjualan ekspor.
·
Bilamana tidak ada harga dalam
negeri pengimpor yang dapat dibanding-kan di negara pengekspor, maka harga
normal adalah ex factory price yang berasal
dari perhitungan harga produk sejenis di negara tersebut yang diekspor ke
negara ke tiga.
·
Ongkos produksi di negara asal di
tambah biaya administrasi, biaya pemasaran, dan keuntungan normal adalah dengan
menggunakan definisi nomor 1 a, namun bilaman penjualan dalam negeri di negara
pengekspor sangat kecil (jarang) atau harga dalam negeri tidak relevan, misalnya
produk tersebut di jual oleh perusahaan negara di negara yang menganut non
market economy dapat menggunakan definisi 1 b .
2. Menimbulkan Kerugian (injury) di dalam
Negeri Negara Pengimpor
Penentuan Kerugian dalam Pasal VI GATT
1994 didasarkan pada bukti-bukti positif dan melibatkan pengujian objektif
mengenai (H.A.S. Natabaya, 1996: 24)
·
Volume produk impor harga dumping dan
dampaknya terhadap harga-harga pasar dalam negeri untuk produk sejenis dan
·
Dampak impor itu terhadap produsen
dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis.
3. Adanya hubungan kausal (causal link).
Hubungan kausal antara praktik dumping
yang dilakukan dengan akibat kerugian (injury) yang terjadi. Adanya praktik
duping dalam Impor harus dibuktikan sebagai penyebab terjadingan kerugian.
Hubungan sebab akibat antara impor dumping dengan kerugian industri dalam
negeri negara pengimpor harus didasarkan pada pengujian semua bukti adanya
indikasi dumping.
Pengujian
dampak produk impor dengan harga dumping pada industri dalam negeri negara pengimpor
akan mencakup penilaian terhadap semua faktor ekonomi seperti: penurunan
penjualan potensial dan aktual, laba, out put, pangsa pasar produktivitas,
pengembangan investasi atau pemakaian kapasitas; faktor-faktor yang
mempengaruhi harga dalam negeri; besarnya selisih dumping; pengaruh negatif
pada cash flowpotensial dan aktual persediaan
tenaga kerja, upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal atau investas.
Berdasarkan pengertian di atas maka
dumping dapat diketegorikan menjadi tiga kriteria/unsur sebagai berikut:
1.
Produk dari suatu negara yang
diperdagangkan oleh negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah harga
normal (less than normal value) atau disebut dengan “less than
fair value” (LTFV).
2.
Akibat dari diskriminasi harga
tersebut yang menimbulkan kerugian material terhadap industri telah berdiri
atau menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri.
3.
Adanya hubungan kausal antara
penjual barang impor yang LTFV dgn kerugian yang diderita oleh negara pengimpor
(Hub. 1 & 2).
Menurut Kindleberger dalam H.A.S.
Natabaya, apabila dilihat dari segi dampak bagi konsumen dan industri
dalam negeri importer, ada dua jenis dumping yaitu (H.A.S. Natabaya, 1996: 9) :
1.
Dumping yang bersifat perampasan (predatory
dumping) yaitu apabila perusahan melakukan
diskriminasi dan menguntungkan pembeli untuk sementara waktu dengan tujuan
untuk menghilangkan saingan, setelah saingan tersingkir maka harga dinaikkan
kembali. Bentuk dumping ini merugikan produk industri dalam negeri negara
pengimpor.
2.
Persistent dumping adalah
damping yang terjadi secara terus menerus. Bentuk dumping ini pada dasarnya
hanya akan menguntungkan konsumen negara importer, karena persaingan tersebut
hanya terjadi antara sesama produk impor.
A.4. Penentuan Bea Masuk Anti Dumping
Untuk menentukan bea masuk anti dumping
diatur dalam Pasal 19 (1) UU Kepabeanan No.10 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa
Bea Masuk Antidumping yang dikenakan terhadap barang impor adalah
setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari
barang tersebut. Bea Masuk Antidumping tersebut merupakan tambahan dari Bea
Masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1), yakni bea tambahan dari
tariff impor (bea masuk) berdasarkan tarif setinggi-tingginya 40 % (empat puluh
persen) dari nilai pabean.Berdasarkan ketentuan di atas bahwa BMAD adalah bea
masuk yang dijatuhkan terhadap produk-produk yang diekspor secara dumping dan countervailing duties atau bea
masuk untuk barang-barang yang terbukti telah diekspor dengan harga yang lebih
rendah dari harga normal (less than fair value / LTFV. Nilai normal dalam arti
harga untuk produk yang sama dengan produk yang dijual di negara sendiri atau
di pasar pengekspor.
Selanjutnya yang dimaksud dengan nilai
normal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) PP No. 34 tentang Bea Masuk
Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan adalah harga yang sebenarnya dibayar atau
akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di Pasar
Domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi.
Untuk menghitung harga norma (normal value) berbagai
negara menganut bermacam-macam cara. Namum penafsiran yang umum dalam ketentuan
Pasal VI GATT , menggunakan cara perhitungan harga normal berdasarkan “biaya
produksi (cost of production) ditambah keuntungan (profit) dan dibagi
dgn seluruh jumlah produksi (total of production).
Biaya
produksi sekurang-kurang terdiri dari:
1.
Biaya yang dikeluarkan untuk bahan
baku,
2.
Biaya fabrikasi termasuk upah
buruh dan,
3.
Segala biaya yang dikeluarkan utk
melaksanaan penjualan (General Sales Administration / GSA).
Negara yang dirugikan dengan adanya
dumping dapat mengenakan bea tambahan/bea masuk anti dumping pada barang-barang
yang terkena dumping sebesar ”margin dumping”. Contoh margin dumping: misalnya
suatu negara peng-impor mengenakan harga LTFV sebesar 100 dolar untuk tiap-tiap
produk arloji, dan harga normal dalam persaingan pasar dari barang arloji tsb
adalah 120 dolar per buah, maka “margin of dumping” adalah 20 dolar. Dengan adanya
kelebihan harga 20 dolar dari harga LTFV, maka negara yang dirugikan hanya
diperkenankan untuk menggunakan anti dumping sebesar harga tersebut (20 dolar).[6]
B. Implementasi pengaturan Dumping menurut
Article VI GATT 1994 terhadap peraturan Indonesia
B.1. Ketentuan Dumping menurut GATT
Dalam putaran Perdagangan Internasional ke VI kenedy round
(1963-1967) telah berhasil menyusun ketentuan dumping yang pertama kali dikenal
dengan anti dumping code dan diberlakukan mulai tanggal 1 juli 1968.Kemudian
ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Tokyi Round (1973-1979) sekaligus
berhasil disahkan menetapkan persetujuan tentang “Agreement on Interpretationof
Articles VI,XVI,and XXIII of GATT” yang kemudian dikenal sebagai “Code of
subsidies and Countervalling Measures”.Ketentuan tersebut masih bersifat “code”maka
hanya menjadi petunjuk atau etika sehingga belum mempunyai kekuatan layaknya
seperti ketentuan hukum.
Dalam putaran terakhir uruguay round (1968-1994),masalah
dumping tetap menjadi perhatian para contracting parties.Sehinnga ketentuan
dumping yang sudah ditetapkan dalam dua putaran perdagangan sebelumnya
ditegaskan lagi dalam Annex 1A: Agreement on Implemantation of Article VI of
general Agreement on Tariffis and Trade 1994 sebagai lampiran perjanjian yang
tidak bisa dipisahkan dari GATT 1994.Ketentuan dumping terdiri dari III bagian
dan 2 lampiran penjelasan. Bagian 1 berisi Pasal 1 sampai pasal 15 bagian 2
terdiri dari pasal 16 dan 17,dan bagian III hanya satu,yaitu pasal 18.
Berbeda dengan dua putaran
perundingan perdagangan di atas persetujuan-persetujuan perdagangan dalam
pengelolan WTO / Hasil dari Uruguay round tidak lagi sebagai code tetapi sudah
menjadi rule atau aturan hukum dalam sistem perdagangan Internasional yang
bersifat mengikat dan harus ditaati oleh anggotanya.
B.2 Ketentuan Dumping dalam Hukum Nasinal
Indonesia
Dalam hukum Nasinal Indonesia ketentuan dumping secara
ekplisit diatur dalam UU no.10 tahun 1995 tentang kepabeanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1995 no.75 beserta Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3612 ) yang dilengkapi dengan peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea masuk anti dumping dan Bea masuk
Imbalan.
Undang-Undang no.10
tahun 1995 tentang kepabeanan merupakn perubahan dari ketentuan
perundang-undangan tetntan bea dan cukai.sebelumnya terhadap Kepabeanan berlaku
ketentuan perundang-undangan dari zaman kolonial yaitu :[7]
a) Indiche
Tarief wet Staatblad tahun 1973 nomor 35 sebagaimana diubah dan ditambah
b) Rechten
Ordonantie staatsblad tahun 1982 nomor 240 sebagaimana telah diubah dan
ditambah.
c) Tarif
Ordonantie Staadsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan
ditambah
Perubahan ketentuan dari Kapabeanan tersebut menjadi
undang-undang No.10 tahun 1995 tentan Kepabeanan merupakan tuntutan dari
perkembangan dalam pelaksanaan pembangunan bidan perekonomian ,khususnya
penyelenggaraan kegiatan perdagangan Internasional yang banyak dipengaruhi oleh
pergerakan globalisasi.
Dibandingkan dengan perundang-undangan warisan kolonial dalam
undang-undang No.10 tahun 1995 terdapat hal baru yang dipertegas antara lain
;Kapabeanan;kawasan kapabeanan; fasilitas yang diberikan Kapabeanan menyangkut
tentang tempat penimbunan ( sementara,berikat,atau penibunan pabean ) ;
Penetapan besarnya bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan pengendalian
import ;sanksi administratif; penyidikan dan lembaga banding.
Dalam pelaksanaan bea masuk anti dumping dan bea masuk
imbalan ditetapkan dalam Peraturan pemerintah yaitu PP Nomor 34 tahun 1996 yang
mengatur tenhtang persyaratan dan pengenaan bea masuk anti dumping dan bea
imbalan.Kemudian berkaitan dengan penyelesaian perselisihan tentang tuduhan
dumping terhadap barang dumping atau barang yang mengandung subsidi ditetapkan
Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ) berdasarkan surat keputusan dari menteri
perindustrian dan perdagangan Nomor 136/MPP/KEP/6/1996 tertanggal 4 juni 1996.[8]
BAB IV
KESIMPULAN
a.
Pengaturan tentang Anti Dumping selain mengacu pada ketentuan
internasional (Agreement on Implementation of Article VI GATT dan Agreement on
Subsidies and Countervailing Duties), juga pada peraturan perundang-undangan nasional, yaitu UU.
No. 10 tahun 1995 tetang Kepabeanan. Pengaturan anti dumping sangat diperlukan
untuk melindungi industri dalam negeri terhadap praktik yang dapat merugikan
industri dalam negari yang memproduksi barang sejenis.
b.
Dumping yang dapat
menimbulkan kerugian yang sangat diharamkan karna melanggar Prinsip perdagangan
yang jujur dan merugikan kepentingan perdagangan Negara anggota lain.Untuk
tujuan itu,Negara yang terkabung dalam WTO harus mentaati dan mengaplikasikan
ketentuan GATT 1994 serta perjanjian-perjanjian yang menyertainya termasuk
ketentuan tentang Dumping.
SARAN
a.
Perlu dikeluarkan peraturan khusus tentang anti dumping dalam
bentuk undang-undang tersendiri, karena keberadaan perangkat hukum nasional
dalam mengantisipasi masalah dumping masih lemah, baik sebagai instrumen guna
melindungi produk dalam negeri dari praktik dumping, maupun sebagai instrumen
hukum guna mengahdapi tuduhan dumping di luar negeri. Kelemahan tersebut
terutama terkait dengan pengertian harga normal. Salah satu unsur
terjadinya praktik dumping apabila harga yang ditawarkan di pasar negara
pengimpor lebih rendah jika dibandingkan dengan harga normal (norma value) di dalam negeri pengimpor.
b. Dengan adanya globalisasi perdagangan pemerintah harus aktif dan
selektif terhadap banjirnya produk-produk import yng diduga sebagai barang
dumping atau barang mengandung subsidi karena produk import tersebut dapat
merugikan dan mematikan produksi industri dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
·
Persetujuan akhir paraguay.terjemahan resmi
bidan perdagangan multilateral Departement perdagangan jakarta 1994
·
Elly erawati dan JS badudu Kamus Hukum Ekonomi
jakrta ,Komponen pengembangan Hukum ekonomi proyek Ellips 1996 halaman 39
·
Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996
tetntang bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan
·
Ibid pasal 3,5 hal 175
·
Yunisaf anwar dan Rusandi Endjo,seri himpunan
peraturan Pabeanan,Pt Bina Pena Pariwara 1996 hal 66
·
Warta bea cukai edisi 271,1997,hal 15
·
Undang-Undang GATT 1974
[1] Persetujuan akhir
paraguay.terjemahan resmi bidan perdagangan multilateral Departement
perdagangan jakarta 1994
[2] Elly erawati dan JS badudu
Kamus Hukum Ekonomi jakrta ,Komponen pengembangan Hukum ekonomi proyek Ellips
1996 halaman 39
[3] Lihat pasal 1 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996 tetntang bea masuk anti dumping dan
bea masuk imbalan
[4] Ibid pasal 3,5 hal 175
[5] Ronny Hanitijo soemitro
Metode penelitian hukum hal 11
[6].http://www.unram.ac.id/2011/04/16/regulasi-anti-dumping-sebagai-upaya-perlindungan-terhadap-industri-dalam-negeri/
Pasal 1 butir 2 PP No. 34 Tahun 1996
[7] Yunisaf anwar dan Rusandi
Endjo,seri himpunan peraturan Pabeanan,Pt Bina Pena Pariwara 1996 hal 66
[8] Warta bea cukai edisi
271,1997,hal 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar