Kamis, 12 Januari 2012


A.        DASAR HUKUM BPHTB
           
[1]Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah :
·         Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.Undang-undang ini menggantikan Ordonasi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291.
·         Peraturan Pemerintah No.111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena waris dan hibah
·         Peraturan Pemerintah No.112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan
·         Peraturan Pemerintah No.113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB.

[2]Dengan diterapkannya Undang-undang ini maka :
·         Dapat mengkonpensasikan penurunan penerimaandaerah karna diberlakukannya Undang-undangmengenai pajak dan retribusi daerah karena 99% penerimaan BPHTB dikembalikan kepada daerah
·         Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan
·         Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamana keuangan Negara

Dasar Pengenaan BPHTB

[3]Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;
·          Jual beli adalah harga transaksi;
·         ]Tukar-menukar adalah nilai pasar;
·         Hibah adalah nilai pasar;
·          Hibah wasiat adalah nilai pasar;
·         Waris adalah nilai pasar;
·          Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
·         Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
·         Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
·         Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
·         Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
·          Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
·          Peleburan usaha adalah nilai pasar;
·          Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
·         Hadiah adalah nilai pasar;
·          Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yangtercantum dalam risalah lelang.

Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

            PENGERTIAN BPHTB
·         [4]Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang dikenakan atas   perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;
·          Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
·          Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
B.        SEJARAH BERLAKUNYA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

[5]Seperti yang telah diketahui bahwa sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agararia atau yang dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), setiap pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, dipungut Bea Balik Nama berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291. Obyek Bea Balik Nama (BBN) menurut ordonansi tersebut adalah pemindahan hak yang dilakukan dengan pembuatan akta berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1834 Nomor 27. Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) membawa konsekuensi, bahwa pungutan Bea Balik Nama (BBN) atas harta tetap berupa tanah tidak dapat dilaksanakan, karena pungutan tersebut melekat pada hukum tanah berdasarkan Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata sepanjang yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah dicabut oleh Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Dengan demikian sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Bea Balik Nama (BBN) atas tanah tidak dipungut lagi. Maka dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang merupakan dasar hukum dalam upaya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hokum agraria yang bersifat nasional dan memberikan kepastian hukum dalam bidang pertanahan bagi rakyat Indonesia, dan untuk menggantikan pungutan Bea Balik Nama (BBN) atas harta tetap berupa tanah, maka
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat untuk memberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB disahkan pada tanggal 29 Mei 1997 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1998 dan mencabut Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291.
Pada masa awal berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ini, keadaan perekonomian negara Indonesia sedang dalam keadaan yang memerlukan pembenahan secara menyeluruh di segala sektor. Dengan pertimbangan usulan dari berbagai pihak terutama pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan hal-hal yang berkaitan dengan tanah dan bangunan seperti Real Estate Indonesia ditambah lagi dengan keadaan
perekonomian yang sedang kurang kondusif maka Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ditangguhkan pemberlakuannya selama 6 (enam) bulan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB.

`Selanjutnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998, dan dengan demikian maka pemberlakuan terhadap aturan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 1998. Seiring dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, maka terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dilakukan penyempurnaan untuk menghadapi perubahan yang cepat yang terjadi dalam masyarakat. Terhadap penyempurnaan tersebut lahirlah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB.



C.        CARA PENGITUNGAN PEMBAYARAN, PENETAPAN,  PENAGIHAN DAN SANKSI TIDAK MEMBAYAR BPHTB
I.                   Cara Penghitungan BPHTB
[6]Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah; BPHTB = 5 % X (NPOP - NPOPTKP)
Contoh:
1. Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan “S” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006 Rp. 40.000.000,. Mengingat NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka NPOP-nya sebesar Rp.50.000.000,- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta - Rp. 60 juta)
= 5 % x (0)
= Rp. 0 (nihil).

2. Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP PBB tahun 2006 adalah Rp. 100.000.000,00. Sehingga besarnya besarnya NPOP adalah Rp. 100.000.000.-. NPOPTKP
untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten
“XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00 dikurangi Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp. 100 - Rp. 60) juta
= 5 % x ( Rp. 40) juta
= Rp. 2 juta.
3. Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan”S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp. 100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400- Rp. 300) juta
= 50% x 5% x ( Rp. 100) juta
= Rp. 2,5 juta.

4. Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 250 - Rp. 300) juta
= 50% x 5 % x ( 0)
= Rp. 0 (nihil).

II.                PEMBAYARAN BPHTB
[7]Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem “self assessment”. Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB).

Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB

[8]Wajib pajak membayar pajak BPHTB yang terutang tidak didasarkan pada surat ketetapan pajak atau SKP, melainkan dengan cara menghitung dan membayar sendiri pajak terutang dengan mengisi Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan atau disingkat SSB.
Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank pemerintah, Bank DKI dan juga Kantor Pos di wilayah Kotamadya yang meliputi letak tanah dan atau bangunan dengan SSB. Tempat terutang pajak adalah di wilayah kabupaten, kota atau propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan. SSB dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan / KP PBB / KPBB yang adal di wilayah DKI Jakarta, PPAT, Notaris, Kantor Lelang dan Kantor Pertanahan serta Kantor Bank Pemerintah, Bank DKI dan Kantor Pos. Pembayaran BPHTB dapat dilakukan tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak / SKP.
SKP atau Surat Ketetapan Pajak adalah dokumen yang menjelaskan jumlah pajak yang kurang atau lebih bayar yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah adanya pemeriksaan. SKP BPHTB disingkat menjadi SKB (Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). SKB dapat dikeluarkan dalam jangka lima tahun semenjak saat terutang BPHTB. SKB dapat berupa SKBKB untuk yang kurang bayar, SKBLB untuk yang lebih bayar dan SKBN untuk yang nihil atau nol bayar

III.       PENETAPAN

1.               [9]Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.
2.      Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

IV.       PENAGIHAN

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :

1. Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2. Dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. Dan jika tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

[10]Menentukan Besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB
a.       Tarif BPHTB adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
b.      Nilai perolehan objek pajak atau NPOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000 (tiga puluh juta rupiah) yang sewaktu-waktu besarnya dapat dirubah oleh peraturan pemerintah. Sedangkan khusus untuk perolehan karena hak waris dalam satu dahar, sedarah atau keturunan garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberian hibah termasuk istri atau suami NJOPTKP atau Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp. 300.000.000.
c.        Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP) dikurangi dengan nilai perolehan onjek pajak tidak kena pajak.
d.       Besar pajak terutang BPHTB adalah didapat dengan cara mengalikan tarif pajak dengan nilai perolehan onjek pajak kena pajak (NPOPKP).


D.        SANKSI TIDAK MEMBAYAR BPHTB

Apabila WP diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB. Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB kurang Bayar (SKBKBT) jika ditemukan data baru atau data yang sebelumnya tidak terungkap yang mengakibatkan menambahnya jumlah pajak terutang setelah SKBKB terbit, maka dapat dikenakan denda sanksi administrasi sebesar 100% dari kekurangan pajak tersebut kecuali WP melaporkan sendiri sebelum adanya tindakan pemeriksaan.


E.        KETENTUAN BAGI PEJABAT
·         [11]Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
·         .Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
·          Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
·         Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/ Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.”
·          Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah kepada Direktorat Jenderal Pajak selambatlambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

F.         SANKSI BAGI PEJABAT

·         [12]Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dan angka 2 dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
·      .Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
·      .Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 ,dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·      Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·      .Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

G.        PERMASALAHAN

1. Contoh permasalahan :
[13]SPPT BHTB A, dikenakan sangsi sebesar  Rp1.700.000 an
A, tidak bisa menerima hal ini .Adapun peristiwanya seperti ini : A beli rumah dari salah satu PT.yang membangun perumahan . PT tersebut membeli tanah dari salah seorang penduduk . Ternyata pada saat A beli rumah tersebut SPPTnya tidak diberitahukan , baru setelah 3 tahun A diberikan SPPT tagihan, sebagai wajib pajak A, kemudian akan membayar di kecamatan ,ternyata jumlah yang harus saya bayar adalah 1.700.000 an usut punya usut A tanyakan ke pegawai kecamatan ternyata luas tanah itu belum dipotong - potong , adapun luas tanah A adalah 92 m2 dan luas bangunan adalah 45 m2 Tgl 30 Agustus 2010, A akan membayar lagi , A tidak mendapat jawaban yang memuaskan baik dari pihak keluarahan setempat maupun kecamatan .
·                     jawab:
1. SPPT BHTB dikenakan sanksi 1.700.000 an. Yang dikenakan saksi: atas SPPT PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan) atau BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan) ?
2. A sebagai wajib pajak akan membayar. Apakah di SPPT PBB sudah tertulis nama A?
o   Peristiwa:
o   Beli rumah ke PT
o   PT Beli tanahnya dari warga
o   Infonya: tanah belum dipecah
Akar permasalahnya, kemungkinan: Ketika PT membangun rumah (banyak rumah) tidak diikuti/dilanjutkan dengan mutasi pecah SPPT PBB ( pemecahan SPPT PBB dari 1 bidang tanh menjadi beberapa rumah tiap-tiap pemilik rumah). Nah, ketika 3 tahun setelah pembelian, SPPT PBB masih nama induk (pemilik lama) yang belum terpecah. Kemudian anda mencoba membayar dikenakan sanksi pembayaran selama 3 tahun kebelakang.
·   Solusi:
Ø      Bayar SPPT PBB selama 3 tahun kebelakang tersebut. Siapa yang membayar? Yang  membayar adalah yang menempati tanah tersebut. Siapa yang menempati? Bisa jadi semua pemilik rumah-rumah yang dibangun oleh PT.
Ø      Setelah dibayar, diajukan mutasi pecah Objek Pajak, dari 1 bidang tanah/SPPT PBB ke semua pemilik rumah-rumah yang dibangun oleh PT.
Ø      Tahun depan Anda (dan tetangga Anda) akan menerima SPPT sesuai dengan yang ditempati saja.
2.Contoh Permasalahan
Contoh 1:
[14]Wajib Pajak orang pribadi A memperoleh hak baru atas sebidang tanah melalui program ajudikasi. Hak atas tanah yang diperoleh adalah Hak Milik dengan luas 200m2 dan di atasnya telah berdiri sebuah bangunan dengan luas 100m2. SPPT PBB atas objek tersebut telah diteritkan dengan NJOP sebesar Rp 227.400.000,00 terdiri dan NJOP tanah Rp 537.000,00 per meter dan NJOP bangunan Rp1.200.000,00 per meter2, NJOPTKP yang ditetapkan Kanwil setempat Rp50 juta.
Ø  BPHTB yang seharusnya terutang adalah
Ø  5% (Rp227.400.000,00 - Rp50 juta)
Ø  5% x Rp177.000.000,00 = Rp 8.870.000,00
Ø   BPHTB selain tanah  = 5% x (100 x Rp1.200.000,00) = = Rp6.000.000,00
Ø              Apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan BPHTB karena tidak mampu, maka perhitungan pengurangannya adalah sebagai berikut:
Ø  1.     BPHTB Hasil Pengurangan karena perolelan hak baru selain Hak PengeloIaan adalah sebesar Rp 8.870.000,00 - Rp6.000.000,00 = Rp 2.870.000,00
Ø  2.     BPHTB Hasil Pengurangan karena perolehan hak baru dengan program pemerintah adalah 50% x Rp2.870.000,00 = Rp 2.435.000,00
Ø  Sehingga besarnya seluruh pengurangan adalah :
Ø  Rp 6.000.000,00 + Rp 1.435.000,00
Ø  Rp 7.435.000,00
Ø   BPHTB setelah pengurangan adalah sebesar :
Ø  Rp 8.870.000,00 - Rp7.435.000,00
Ø  Rp 1.435.000,00
 Contoh 2 :
Wajib Pajak orang pribadi B memperolen hak baru atas sebi­dang tanah melalui program ajudikasi. Hak atas tanah yang diperoleh adalah Hak Milik dengan luas 100 m2 dan diatasnya telah berdiri sebuah bangunan dengan luas 150 m2. SPPT PBB atas objek tersebut telah diterbitkan dengan NJOP sebesar Rp 226.400.000,00 terdiri dari NJOP tanah Rp 464.000,00 per rneter2 dan NJOP bangunan Rp1.200.000,00 per meter2. NPOPTKP yang ditetapkan Kanwil setempat Rp50 juta.
 BPHTB yang seharusnya terhutang ada!ah :
5% (Rp226.400.000,00 – Rp 50 juta) =  5% x Rp176.400.000,00 = Rp8.820.000,00
 BPHTB selain tanah       =   5% x (150 x Rpl.200.000,00) = Rp9.000.000,00
            Dalam hal BPHTB selain tanah Iebih besar dari BPHTB yang seharusnya terhutang, maka besamya BPHTB selain tanah yang digu­nakan untuk perhitungan pengurangan adalah sebesar BPHTB yang seharusnya terutang.
Apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan BPHTB karena tidak mampu, maka perhitungan pengurangannya adalah sebagai berikut :
o     BPHTB Hasil Peggurangan karena perolehan hak baru selain Hak Pengelolaan adalah     sebesar Rp8.820.000,00 - Rp8.820.000,00 = Rp 0
o   BPHTB Hasil Pengurangan karena perolehan hak baru dengan program pemerintah adalah 50% x Rp 0 = Rp 0
Sehingga besarnya seluruh pengurangan adalah Rp8.820.000,00 BPHTB setelah pengurangan adalah N I H I L
 Contoh 3 :
Wajib Pajak badan PT A  memperoleh hak baru Hak Guna Bangunan atas sebidang tanah seluas 1000m2 dan di atasnya telah ber­diri sebuah bangunan dengan luas 500m2. SPPT PBB atas objek tersebut telah diterbitkan dengan NJOP sebesar Rp2.132.000.000;00 terdiri dari NJOP tanah Rp 1.032.000,00 per meter2 dan NJOP bangunan Rp2.200.000,00 per meter2. NPOPTKP yang ditetapkan Kanwil setempat Rp 50 juta.
 BPHTB yang seharusnya terutang adalah :
5% (Rp2.132.000.000,00 - Rp50 juta) = 5% x Rp2.082.000.000,00 = Rp 104.100.000,00
BPHTB selain tanah    =      5%x(500xRp2.200.000,00) = Rp   55.000.000,00
            Apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan BPHTB, maka BPHTB Hasil Pengurangan karena perolenan hak baru selain Hak Pengelolaan adalah sebesar Rp104.100.000,00 -  Rp55.000.000,00 = Rp 49.100.000,00
 Contoh 4 :
Wajib Pajak badan PT B  memperoleh hak baru Hak Guna Bangunan atas sebidang tanah seluas 100m2 dan di atasnya telah berdiri sebuah bangunan dengan luas 250m2. SPPT PBB atas objek tersebut telah diterbitkan dengan NJOP sebesar Rp346.400.000,00 terdiri dari NJOP tanah Rp464.000,00 per meter2 dan NJOP bangunan Rp 1.200.000,00 per meter2. NPOPTKP yang ditetapkan Kanwil setempat Rp 50 juta. 
BPHTB yang seharusnya terutang adalah :
5% (Rp346.400.000,00 - Rp50 juta) =  5% x Rp296.400.000,00 = Rp14.820.000,00
 BPHTB selain tanah =  5% x (250 x Rp1.200.000,00) = =  Rp 15.000.000,00
(mengingat BPHTB selain tanah Iebihbesar dari BPHTB yang seharusnya terutang, maka besamya BPHTB selain tanah yang digunakan untuk perhitungan pengurangan adalah sebesar BPHTB yang seharusnya terutang yaitu Rp14.820.000,00);
 Apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan BPHTB, maka BPHTB Hasil Pengurangan karena perolehan hak baru selain Hak Pengelolaan adalah sebesar Rp14.820.000,00 – Rp14.820.000,00 = NIHIL
 Contoh 5 :
Wajib Pajak badan PT C  memperoleh hak baru Hak Guna Usaha atas sebidang tanah perkebunan seluas 500 hektar (5.000.000 m2) dan di atasnya telah berdiri sebuah bangunan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan luas 10.000 m2. SPPT PBB atas objek tersebut telah diterbitkan dengan NJOP sebesar Rp58.150.000.000,00 dengan rincian penetapan PBB sebagai berikut:
1.      Areal kebun seluas 4.900.000 m2 dengan NJOP Rp10.000,00 per m2 dan standar investasi  tanaman senilai Rp 500 m2
2.      Area tanah emplasemen seluas 100.000 m2 dengan NJOP Rp36.000,00 per m2
3.      Bangunan pabrik seluas 10.000 m2 dengan NJOP Rp310.000,00 per m2. NPOPTKP yang ditetapkan Kanwil setempat Rp50 juta.
 BPHTB yang seharusnya terutang adalah :
5% (Rp58.150.000.000,00 - Rp50 juta)= 5% x Rp58.100.000.000,00 = Rp2.905.000.000,00
 BPHTB selain tanah
= 5% x (4.900.000 x Rp500,00) + (10.000 x Rp310.000,00)
= 5% x Rp5.550.000.000,00
= Rp 277.500.000,00
 Apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan BPHTB, maka BPHTB Hasil Pengurangan karena perolehan hak baru selain Hak Pengelolaan adalah sebesar Rp2.905.000.000,00- Rp277.500.000,00 = Rp 2.627.500.000,00
3. Contoh Permasalahan yang sering terjadi dalam penelitian Surat Setoran  Bea ( SSB ):

Ø  [15]Apabila Ahli waris memperoleh Warisan lebih dari 1 (satu) obyek pajak dan pada saat yang bersamaan didaftarkan ke BPN, apakah pengurangnya 1(satu) kali atau pengurangnya masing-masing obyek pajak .
Solusi : Pengurangnya satu kali kalau dilakukan dalam kurun satu tahun meskipun dengan akta masing-masing bidang dan bukan hanya dalam proses waris saja tetapi berlaku terhadap jenis transaksi yang lain.

Ø  Ahli Waris mendaftarkan sebagian perolehan warisnya dari obyek yang sama, apakah dasar pengurangnya dari semua Warisan yang diperoleh atau sejumlah yang didaftarkan di BPN saja
Solusi : Yang mendapat pengurangan adalah yang didaftarkan haknya pada saat itu.

Ø  Apabila proses APHB yang diatasnamakan 1 (satu) orang pada saat dilakukan pendaftaran di BPN,pihak BPN meminta SSB waris
Solusi :
Ada dua kali proses yang harus dilakukan :
a. Pembayaran SSB terhadap obyek waris tidak terutang
b. SSB terutang terhadap APHB saja.

Ø  Ahli Waris memperoleh Warisan dengan 1(satu) NOP tetapi terdiri dari beberapa Akte, apakah pengurangnya 1(satu) kali dari seluruh jumlah yang tertera di SPPT atau pengurangnya beberapa kali sesuai dengan jumlah akte.
Solusi : Mendapat pengurangan /NPOPTKP satu kali
Kesimpulan :SE-22 tahun 2000 bahwa NPOPTKP diberikan untuk setiap perolehan obyek pajak

•Dalam AJB yang dibuat oleh Notaris/PPAT terhadap beberapa obyek dengan nama yang sama dengan pembuatan akta pada tahun yang sama NPOPTKP diberikan lebih dari satu
Ø  Untuk Peralihan hak tanah dan/bangunan karena lelang , pihak mana yang bertanggung jawab atas PPh Finalnya,dan bagaimana apabila nilai lelang kurang dari 60 juta ?
Solusi  :
o   Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah RI No : 48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan  diperbaharui dengan PP No.71 tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP No.48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
o   Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana tercantum dalam risalah lelang.
o   Penjual berkewajiban terhadap PPH final.
o   Apabila nilai lelang kurang dari 60 juta maka tetap diwajibkan melunasi Pph
o   Kepala Kantor Lelang wajib memotong dan menyetor Pph disertai cap Kepala Kantor.(SE-04/PJ.33/1996 tentang Pembayaran PPh atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan Atau Bangunan point 7.2 dan 7.3
o   Untuk memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak hendaknya syarat permohonan penelitian SSB diseragamkan, termasuk batas pelunasan PBB yang terhutang apakah 10 tahun atau 5 tahun dan kebijaksanaan lainnya.




















KESIMPULAN

·         Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ) adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
·         Dengan adanya BPHTB menambah pemasukan kepada Negara yang sebagian besar    diserahkan kepada pemerintahan daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah guna. membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka untuk memantapkan otonomi daerah
·         BPHTB  mengandung sistem self assement,yaitu wajib pajak menghitung membayar sendiri utang pajaknya.
·         Bahwa besarnya tariff ditetapkan sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ( NPOPK ).


















DAFTAR PUSTAKA


·         Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan Revisi 2006 hal 323

·         www.Dasar hukum BPHTB.com

·         www.sejarah BPHTB.com


·         http://www.google.co.id/#hl=id&biw=1024&bih=544&q=tata+cara+pembayaran+bphtb


·         http://surkad.gd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2008/gd4243PTHTP/lectnotephtp.pdf



·         http://www.pajakbumidanbangunan.com/2009/10/4142545.html

·         http://www.google.co.id/#q=contoh+permasalahan+ssb&hl=id&biw=1024&bih=544&sa=2&fp=d3b3af5896ffdfd



[1]  Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan Revisi 2006 hal 323
[2]  www.Dasar hukum BPHTB.com


[3] Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan Revisi 2006 hal 326
[4]Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan Revisi 2006 hal 324

[5] www.sejarah BPHTB.com
[6] http://surkad.gd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2008/gd4243PTHTP/lectnotephtp.pdf
[7] http://www.pajak.go.id/index.php?option=com
[8]http://www.google.co.id/#hl=id&biw=1024&bih=544&q=tata+cara+pembayaran+bphtb
[9] http://surkad.gd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2008/gd4243PTHTP/lectnotephtp.pdf

[10] http://judichung.wordpress.com/2009/07/30/pengertian-bea-perolehan-hak-atas-tanah-dan-bangunan-bphtb-penjelasan-arti-definisi-pembayaran-sanksi-perhitungan-dsb/
[11] Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan Revisi 2006 hal 334

[12] http://www.kanwilmalang.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=8:seri-04-ketentuan-bagi-pejabat-yang-t&catid=11:bphtb&Itemid=10
[13] http://www.pajakbumidanbangunan.com/2009/10/pengajuan-bphtb.html

[14] http://www.pajakbumidanbangunan.com/2009/10/4142545.html
[15]http://www.google.co.id/#q=contoh+permasalahan+ssb&hl=id&biw=1024&bih=544&sa=2&fp=d3b3af5896ffdfd

1 komentar:

  1. Kalau warisan dari paman ke keponakannya termasuk warisan garis lurus tidak? Harus pakai npoptkp yg 60juta atau 300juta ya?

    BalasHapus