A. DASAR HUKUM BPHTB
[1]Dasar hukum Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah :
·
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.Undang-undang ini menggantikan Ordonasi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291.
·
Peraturan Pemerintah No.111 Tahun 2000 tentang Pengenaan
BPHTB karena waris dan hibah
·
Peraturan Pemerintah No.112 Tahun 2000 tentang Pengenaan
BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan
·
Peraturan Pemerintah No.113 Tahun 2000 tentang Penentuan
Besarnya NPOPTKP BPHTB.
[2]Dengan diterapkannya
Undang-undang ini maka :
·
Dapat mengkonpensasikan penurunan penerimaandaerah karna
diberlakukannya Undang-undangmengenai pajak dan retribusi daerah karena 99%
penerimaan BPHTB dikembalikan kepada daerah
·
Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan
·
Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana tanpa
mengabaikan pengawasan dan pengamana keuangan Negara
Dasar
Pengenaan BPHTB
[3]Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP) dalam hal;
·
Jual beli adalah harga transaksi;
·
]Tukar-menukar
adalah nilai pasar;
·
Hibah adalah nilai
pasar;
·
Hibah wasiat adalah nilai pasar;
·
Waris adalah nilai
pasar;
·
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lainnya adalah nilai pasar;
·
Pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
·
Peralihan hak
karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
nilai pasar;
·
Pemberian hak baru
atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan
hak adalah nilai pasar;
·
Pemberian hak baru atas tanah
diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
·
Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
·
Peleburan usaha adalah nilai pasar;
·
Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
·
Hadiah adalah nilai pasar;
·
Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga
transaksi yangtercantum dalam risalah lelang.
Apabila
NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang
digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan
pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.
PENGERTIAN BPHTB
·
[4]Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan Hak atas tanah
dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;
·
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan:
adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas
dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
·
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk
hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang
Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lainnya.
B. SEJARAH
BERLAKUNYA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
[5]Seperti yang
telah diketahui bahwa sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agararia atau yang dikenal dengan
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), setiap pemindahan hak atas harta tetap yang
ada di wilayah Indonesia, dipungut Bea Balik Nama berdasarkan Ordonansi Bea
Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291. Obyek Bea Balik Nama (BBN) menurut
ordonansi tersebut adalah pemindahan hak yang dilakukan dengan pembuatan akta
berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1834 Nomor 27. Berlakunya
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) membawa konsekuensi, bahwa pungutan Bea
Balik Nama (BBN) atas harta tetap berupa tanah tidak dapat dilaksanakan, karena
pungutan tersebut melekat pada hukum tanah berdasarkan Buku II Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Sedangkan Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata sepanjang
yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah
dicabut oleh Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Dengan demikian sejak
berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Bea Balik Nama (BBN) atas tanah
tidak dipungut lagi. Maka dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang merupakan dasar hukum dalam
upaya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hokum agraria yang bersifat
nasional dan memberikan kepastian hukum dalam bidang pertanahan bagi rakyat
Indonesia, dan untuk menggantikan pungutan Bea Balik Nama (BBN) atas harta
tetap berupa tanah, maka
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat
untuk memberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang
BPHTB disahkan pada tanggal 29 Mei 1997 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari
1998 dan mencabut Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291.
Pada masa awal berlakunya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) ini, keadaan perekonomian negara Indonesia sedang dalam
keadaan yang memerlukan pembenahan secara menyeluruh di segala sektor. Dengan
pertimbangan usulan dari berbagai pihak terutama pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan dengan hal-hal yang berkaitan dengan tanah dan bangunan seperti
Real Estate Indonesia ditambah lagi dengan keadaan
perekonomian yang sedang kurang kondusif maka Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
ditangguhkan pemberlakuannya selama 6 (enam) bulan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 yang ditetapkan pada
tanggal 31 Desember 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB.
`Selanjutnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun
1998, dan dengan demikian maka pemberlakuan terhadap aturan tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) berlaku efektif sejak tanggal 1
Juli 1998. Seiring dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, maka
terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) dilakukan penyempurnaan untuk menghadapi perubahan yang
cepat yang terjadi dalam masyarakat. Terhadap penyempurnaan tersebut lahirlah
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang BPHTB.
C. CARA PENGITUNGAN PEMBAYARAN, PENETAPAN, PENAGIHAN DAN SANKSI TIDAK MEMBAYAR BPHTB
I.
Cara Penghitungan BPHTB
[6]Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek
Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan
tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah; BPHTB = 5 % X (NPOP - NPOPTKP)
Contoh:
1. Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan “S” membeli tanah yang
terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006
Rp. 40.000.000,. Mengingat NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka NPOP-nya
sebesar Rp.50.000.000,- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat,
termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp.
60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan
hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta - Rp. 60
juta)
= 5 % x (0)
= Rp. 0 (nihil).
2. Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya “D” membeli tanah
dan bangunan yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP
PBB tahun 2006 adalah Rp. 100.000.000,00. Sehingga besarnya besarnya NPOP
adalah Rp. 100.000.000.-. NPOPTKP
untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
untuk Kabupaten
“XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00 dikurangi
Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp. 100 - Rp. 60) juta
= 5 % x ( Rp. 40) juta
= Rp. 2 juta.
3. Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan”S” mendaftarkan
warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp.
400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB”
ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp.
400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp. 100.000.000,00,
maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400- Rp. 300)
juta
= 50% x 5% x ( Rp. 100) juta
= Rp. 2,5 juta.
4. Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang
pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang
terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk
perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota
“BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil
dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan
BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 250 - Rp. 300)
juta
= 50% x 5 % x ( 0)
= Rp. 0 (nihil).
II.
PEMBAYARAN BPHTB
[7]Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem
“self assessment”. Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung
dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya
surat ketetapan pajak. Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui
Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk
oleh Menteri
Keuangan dengan menggunakan
Surat Setoran Bea (SSB).
Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB
[8]Wajib pajak membayar pajak BPHTB yang terutang tidak
didasarkan pada surat ketetapan pajak atau SKP, melainkan dengan cara
menghitung dan membayar sendiri pajak terutang dengan mengisi Surat Setoran Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan atau disingkat SSB.
Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank pemerintah, Bank DKI dan
juga Kantor Pos di wilayah Kotamadya yang meliputi letak tanah dan atau
bangunan dengan SSB. Tempat terutang pajak adalah di wilayah kabupaten, kota
atau propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan. SSB dapat diperoleh di
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan / KP PBB / KPBB yang adal di wilayah
DKI Jakarta, PPAT, Notaris, Kantor Lelang dan Kantor Pertanahan serta Kantor
Bank Pemerintah, Bank DKI dan Kantor Pos. Pembayaran BPHTB dapat dilakukan
tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak / SKP.
SKP atau Surat Ketetapan Pajak adalah dokumen yang menjelaskan
jumlah pajak yang kurang atau lebih bayar yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak setelah adanya pemeriksaan. SKP BPHTB disingkat menjadi SKB
(Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). SKB dapat
dikeluarkan dalam jangka lima tahun semenjak saat terutang BPHTB. SKB dapat
berupa SKBKB untuk yang kurang bayar, SKBLB untuk yang lebih bayar dan SKBN
untuk yang nihil atau nol bayar
III.
PENETAPAN
1.
[9]Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat
terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang
kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk
jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai
dengan diterbitkannya SKBKB.
2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat
terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT)
apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum
dilakukan tindakan pemeriksaan.
IV.
PENAGIHAN
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :
1. Pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
2. Dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
3. Wajib pajak
dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar
penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. Dan jika tidak atau kurang dibayar pada waktunya
dapat ditagih dengan Surat Paksa.
[10]Menentukan Besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan / BPHTB
a.
Tarif BPHTB adalah
sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
b.
Nilai perolehan
objek pajak atau NPOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000 (tiga
puluh juta rupiah) yang sewaktu-waktu besarnya dapat dirubah oleh peraturan
pemerintah. Sedangkan khusus untuk perolehan karena hak waris dalam satu dahar,
sedarah atau keturunan garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan
pemberian hibah termasuk istri atau suami NJOPTKP atau Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp. 300.000.000.
c.
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
(NPOPKP) adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP) dikurangi dengan nilai
perolehan onjek pajak tidak kena pajak.
d.
Besar pajak terutang BPHTB adalah didapat
dengan cara mengalikan tarif pajak dengan nilai perolehan onjek pajak kena
pajak (NPOPKP).
D. SANKSI
TIDAK MEMBAYAR BPHTB
Apabila WP diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan
untuk jangka waktu maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai
diterbitkan SKBKB. Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB kurang
Bayar (SKBKBT) jika ditemukan data baru atau data yang sebelumnya tidak
terungkap yang mengakibatkan menambahnya jumlah pajak terutang setelah SKBKB
terbit, maka dapat dikenakan denda sanksi administrasi sebesar 100% dari
kekurangan pajak tersebut kecuali WP melaporkan sendiri sebelum adanya tindakan
pemeriksaan.
E. KETENTUAN BAGI PEJABAT
·
[11]Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan;
·
.Pejabat Lelang Negara hanya
dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
·
Pejabat yang berwenang menandatangani dan
menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani
dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
·
Terhadap pendaftaran peralihan
hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh
Pejabat Pertanahan Kabupaten/ Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.”
·
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala
Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan
hak atas tanah kepada Direktorat Jenderal Pajak selambatlambatnya pada tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya.
F. SANKSI BAGI PEJABAT
·
[12]Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dan angka 2 dikenakan
sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus
ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
·
.Pejabat Pembuat Akta
Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5,
dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
·
.Pejabat yang berwenang
menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 ,dikenakan sanksi
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Pejabat Pertanahan
Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4,
dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
.Kepala Kantor Lelang Negara,
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
G. PERMASALAHAN
1. Contoh permasalahan :
[13]SPPT BHTB A, dikenakan sangsi sebesar Rp1.700.000 an
A, tidak
bisa menerima hal ini .Adapun peristiwanya seperti ini : A beli rumah dari
salah satu PT.yang membangun perumahan . PT tersebut membeli tanah dari salah
seorang penduduk . Ternyata pada saat A beli rumah tersebut SPPTnya tidak
diberitahukan , baru setelah 3 tahun A diberikan SPPT tagihan, sebagai wajib
pajak A, kemudian akan membayar di kecamatan ,ternyata jumlah yang harus saya
bayar adalah 1.700.000 an usut punya usut A tanyakan ke pegawai kecamatan
ternyata luas tanah itu belum dipotong - potong , adapun luas tanah A adalah 92
m2 dan luas bangunan adalah 45 m2 Tgl 30 Agustus 2010, A akan membayar lagi , A
tidak mendapat jawaban yang memuaskan baik dari pihak keluarahan setempat
maupun kecamatan .
·
jawab:
1. SPPT BHTB dikenakan
sanksi 1.700.000 an. Yang dikenakan saksi: atas SPPT PBB (Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan) atau BPHTB (Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan atau Bangunan) ?
2. A sebagai wajib pajak
akan membayar. Apakah di SPPT PBB sudah tertulis nama A?
o
Peristiwa:
o
Beli rumah ke PT
o
PT Beli tanahnya dari warga
o
Infonya: tanah belum dipecah
Akar permasalahnya,
kemungkinan: Ketika PT membangun rumah (banyak rumah) tidak diikuti/dilanjutkan
dengan mutasi pecah SPPT PBB ( pemecahan SPPT PBB dari 1 bidang tanh menjadi
beberapa rumah tiap-tiap pemilik rumah). Nah, ketika 3 tahun setelah pembelian,
SPPT PBB masih nama induk (pemilik lama) yang belum terpecah. Kemudian anda mencoba
membayar dikenakan sanksi pembayaran selama 3 tahun kebelakang.
·
Solusi:
Ø Bayar SPPT PBB selama 3 tahun
kebelakang tersebut. Siapa yang membayar? Yang
membayar adalah yang menempati tanah tersebut. Siapa yang menempati?
Bisa jadi semua pemilik rumah-rumah yang dibangun oleh PT.
Ø Setelah dibayar, diajukan mutasi pecah Objek Pajak, dari 1 bidang
tanah/SPPT PBB ke semua pemilik rumah-rumah yang dibangun oleh PT.
Ø Tahun depan Anda (dan tetangga Anda) akan menerima SPPT sesuai
dengan yang ditempati saja.
2.Contoh Permasalahan
Contoh 1:
[14]Wajib Pajak orang pribadi A memperoleh hak baru atas sebidang tanah
melalui program ajudikasi. Hak atas tanah yang diperoleh adalah Hak Milik
dengan luas 200m2 dan di atasnya telah berdiri sebuah bangunan
dengan luas 100m2. SPPT PBB atas objek tersebut telah diteritkan
dengan NJOP sebesar Rp 227.400.000,00 terdiri dan NJOP tanah Rp 537.000,00 per
meter dan NJOP bangunan Rp1.200.000,00 per meter2, NJOPTKP yang
ditetapkan Kanwil setempat Rp50 juta.
Ø BPHTB yang seharusnya terutang adalah
Ø 5% (Rp227.400.000,00 - Rp50 juta)
Ø 5% x Rp177.000.000,00 = Rp 8.870.000,00
Ø BPHTB selain tanah = 5% x (100 x Rp1.200.000,00) = =
Rp6.000.000,00
Ø Apabila Wajib
Pajak mengajukan permohonan BPHTB karena tidak mampu, maka
perhitungan pengurangannya adalah sebagai berikut:
Ø 1. BPHTB Hasil Pengurangan karena perolelan
hak baru selain Hak PengeloIaan adalah sebesar Rp 8.870.000,00 - Rp6.000.000,00
= Rp 2.870.000,00
Ø 2. BPHTB Hasil Pengurangan karena perolehan
hak baru dengan program pemerintah adalah 50% x Rp2.870.000,00 = Rp
2.435.000,00
Ø Sehingga besarnya seluruh pengurangan adalah :
Ø Rp 6.000.000,00 + Rp 1.435.000,00
Ø Rp 7.435.000,00
Ø BPHTB setelah pengurangan adalah sebesar :
Ø Rp 8.870.000,00 - Rp7.435.000,00
Ø Rp 1.435.000,00
Contoh 2 :
Wajib
Pajak orang pribadi B memperolen hak baru atas sebidang tanah melalui program
ajudikasi. Hak atas tanah yang diperoleh adalah Hak Milik dengan luas 100 m2
dan diatasnya telah berdiri sebuah bangunan dengan luas 150 m2. SPPT PBB
atas objek tersebut telah diterbitkan dengan NJOP sebesar Rp 226.400.000,00
terdiri dari NJOP tanah Rp 464.000,00 per rneter2 dan NJOP bangunan Rp1.200.000,00
per meter2. NPOPTKP yang ditetapkan Kanwil setempat Rp50 juta.
BPHTB yang
seharusnya terhutang ada!ah :
5% (Rp226.400.000,00 – Rp
50 juta) = 5% x Rp176.400.000,00 = Rp8.820.000,00
BPHTB selain
tanah = 5% x (150 x
Rpl.200.000,00) = Rp9.000.000,00
Dalam hal BPHTB selain tanah Iebih
besar dari BPHTB yang seharusnya terhutang, maka besamya BPHTB selain tanah
yang digunakan untuk perhitungan pengurangan adalah sebesar BPHTB yang
seharusnya terutang.
Apabila
Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan BPHTB karena tidak mampu, maka
perhitungan pengurangannya adalah sebagai berikut :
o
BPHTB Hasil Peggurangan karena
perolehan hak baru selain Hak Pengelolaan adalah sebesar Rp8.820.000,00 - Rp8.820.000,00 =
Rp 0
o
BPHTB Hasil Pengurangan karena
perolehan hak baru dengan program pemerintah adalah 50% x Rp 0 = Rp 0
Sehingga besarnya seluruh
pengurangan adalah Rp8.820.000,00 BPHTB setelah pengurangan adalah N I H I L
Contoh 3 :
Wajib
Pajak badan PT A memperoleh hak baru Hak Guna Bangunan atas sebidang
tanah seluas 1000m2 dan di atasnya telah berdiri sebuah bangunan
dengan luas 500m2. SPPT PBB atas objek tersebut telah diterbitkan dengan NJOP
sebesar Rp2.132.000.000;00 terdiri dari NJOP tanah Rp 1.032.000,00 per meter2
dan NJOP bangunan Rp2.200.000,00 per meter2. NPOPTKP yang
ditetapkan Kanwil setempat Rp 50 juta.
BPHTB yang
seharusnya terutang adalah :
5% (Rp2.132.000.000,00 -
Rp50 juta) = 5% x Rp2.082.000.000,00 = Rp 104.100.000,00
BPHTB selain
tanah = 5%x(500xRp2.200.000,00)
= Rp 55.000.000,00
Apabila Wajib Pajak mengajukan
permohonan pengurangan BPHTB, maka BPHTB Hasil Pengurangan karena perolenan hak
baru selain Hak Pengelolaan adalah sebesar Rp104.100.000,00 -
Rp55.000.000,00 = Rp 49.100.000,00
Contoh 4 :
Wajib
Pajak badan PT B memperoleh hak baru Hak Guna Bangunan atas sebidang
tanah seluas 100m2 dan di atasnya telah berdiri sebuah bangunan
dengan luas 250m2. SPPT PBB atas objek tersebut telah diterbitkan
dengan NJOP sebesar Rp346.400.000,00 terdiri dari NJOP tanah Rp464.000,00 per
meter2 dan NJOP bangunan Rp 1.200.000,00 per meter2.
NPOPTKP yang ditetapkan Kanwil setempat Rp 50 juta.
BPHTB yang seharusnya
terutang adalah :
5% (Rp346.400.000,00 -
Rp50 juta) = 5% x Rp296.400.000,00 = Rp14.820.000,00
BPHTB selain tanah
= 5% x (250 x Rp1.200.000,00) = = Rp 15.000.000,00
(mengingat BPHTB selain
tanah Iebihbesar dari BPHTB yang seharusnya terutang, maka besamya BPHTB selain
tanah yang digunakan untuk perhitungan pengurangan adalah sebesar BPHTB yang
seharusnya terutang yaitu Rp14.820.000,00);
Apabila
Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan BPHTB, maka BPHTB Hasil
Pengurangan karena perolehan hak baru selain Hak Pengelolaan adalah sebesar
Rp14.820.000,00 – Rp14.820.000,00 = NIHIL
Contoh 5 :
Wajib
Pajak badan PT C memperoleh hak baru Hak Guna Usaha atas sebidang tanah
perkebunan seluas 500 hektar (5.000.000 m2) dan di atasnya telah
berdiri sebuah bangunan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan luas 10.000 m2.
SPPT PBB atas objek tersebut telah diterbitkan dengan NJOP sebesar Rp58.150.000.000,00
dengan rincian penetapan PBB sebagai berikut:
1.
Areal kebun seluas 4.900.000 m2
dengan NJOP Rp10.000,00 per m2 dan standar investasi tanaman senilai Rp 500 m2
2.
Area tanah emplasemen seluas
100.000 m2 dengan NJOP Rp36.000,00 per m2
3.
Bangunan pabrik seluas 10.000 m2
dengan NJOP Rp310.000,00 per m2. NPOPTKP yang ditetapkan
Kanwil setempat Rp50 juta.
BPHTB yang
seharusnya terutang adalah :
5% (Rp58.150.000.000,00 -
Rp50 juta)= 5% x Rp58.100.000.000,00 = Rp2.905.000.000,00
BPHTB selain tanah
= 5% x (4.900.000 x
Rp500,00) + (10.000 x Rp310.000,00)
= 5% x Rp5.550.000.000,00
= Rp 277.500.000,00
Apabila
Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan BPHTB, maka BPHTB Hasil
Pengurangan karena perolehan hak baru selain Hak Pengelolaan adalah sebesar
Rp2.905.000.000,00- Rp277.500.000,00 = Rp 2.627.500.000,00
3. Contoh Permasalahan yang
sering terjadi dalam penelitian Surat Setoran
Bea ( SSB ):
Ø
[15]Apabila Ahli waris memperoleh Warisan lebih
dari 1 (satu) obyek pajak dan pada saat yang bersamaan didaftarkan ke BPN,
apakah pengurangnya 1(satu) kali atau pengurangnya masing-masing obyek pajak .
Solusi :
Pengurangnya satu kali kalau dilakukan dalam kurun satu tahun meskipun dengan
akta masing-masing bidang dan bukan hanya dalam proses waris saja tetapi
berlaku terhadap jenis transaksi yang lain.
Ø
Ahli Waris mendaftarkan sebagian perolehan warisnya dari obyek yang
sama, apakah dasar pengurangnya dari semua Warisan yang diperoleh atau sejumlah
yang didaftarkan di BPN saja
Solusi : Yang mendapat pengurangan
adalah yang didaftarkan haknya pada saat itu.
Ø
Apabila proses APHB yang diatasnamakan 1 (satu) orang pada saat
dilakukan pendaftaran di BPN,pihak BPN meminta SSB waris
Solusi :
Ada dua kali proses yang harus dilakukan :
a. Pembayaran SSB terhadap obyek waris tidak
terutang
b. SSB terutang terhadap APHB saja.
Ø
Ahli Waris memperoleh Warisan dengan 1(satu) NOP tetapi terdiri dari
beberapa Akte, apakah pengurangnya 1(satu) kali dari seluruh jumlah yang
tertera di SPPT atau pengurangnya beberapa kali sesuai dengan jumlah akte.
Solusi : Mendapat pengurangan /NPOPTKP satu
kali
Kesimpulan :SE-22 tahun 2000 bahwa NPOPTKP
diberikan untuk setiap perolehan obyek pajak
•Dalam AJB yang dibuat oleh
Notaris/PPAT terhadap beberapa obyek dengan nama yang sama dengan pembuatan
akta pada tahun yang sama NPOPTKP diberikan lebih dari satu
Ø Untuk Peralihan hak tanah
dan/bangunan karena lelang , pihak mana yang bertanggung jawab atas PPh
Finalnya,dan bagaimana apabila nilai lelang kurang dari 60 juta ?
Solusi :
o
Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah RI No : 48 tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan diperbaharui dengan PP No.71 tahun 2008 tentang
Perubahan Ketiga atas PP No.48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
o
Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh
pejabat lelang sebagaimana tercantum dalam risalah lelang.
o
Penjual berkewajiban terhadap PPH final.
o
Apabila nilai lelang kurang dari 60 juta maka tetap diwajibkan melunasi
Pph
o
Kepala Kantor Lelang wajib memotong dan menyetor Pph disertai cap Kepala
Kantor.(SE-04/PJ.33/1996 tentang Pembayaran PPh atas Pengalihan Hak Atas Tanah
dan Atau Bangunan point 7.2 dan 7.3
o
Untuk memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak hendaknya syarat
permohonan penelitian SSB diseragamkan, termasuk batas pelunasan PBB yang
terhutang apakah 10 tahun atau 5 tahun dan kebijaksanaan lainnya.
KESIMPULAN
·
Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ) adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan.
·
Dengan adanya BPHTB menambah pemasukan kepada Negara yang
sebagian besar diserahkan kepada
pemerintahan daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah guna. membiayai
pembangunan daerah dan dalam rangka untuk memantapkan otonomi daerah
·
BPHTB mengandung
sistem self assement,yaitu wajib pajak menghitung membayar sendiri utang
pajaknya.
·
Bahwa besarnya tariff ditetapkan sebesar 5% dari Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ( NPOPK ).
DAFTAR PUSTAKA
·
Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan Revisi 2006 hal
323
·
http://www.google.co.id/#hl=id&biw=1024&bih=544&q=tata+cara+pembayaran+bphtb
·
http://surkad.gd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2008/gd4243PTHTP/lectnotephtp.pdf
·
http://www.pajakbumidanbangunan.com/2009/10/4142545.html
·
http://www.google.co.id/#q=contoh+permasalahan+ssb&hl=id&biw=1024&bih=544&sa=2&fp=d3b3af5896ffdfd
[1] Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan Revisi 2006 hal 323
[3] Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan
Revisi 2006 hal 326
[4]Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan
Revisi 2006 hal 324
[5] www.sejarah BPHTB.com
[6] http://surkad.gd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2008/gd4243PTHTP/lectnotephtp.pdf
[7] http://www.pajak.go.id/index.php?option=com
[8]http://www.google.co.id/#hl=id&biw=1024&bih=544&q=tata+cara+pembayaran+bphtb
[9] http://surkad.gd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2008/gd4243PTHTP/lectnotephtp.pdf
[10] http://judichung.wordpress.com/2009/07/30/pengertian-bea-perolehan-hak-atas-tanah-dan-bangunan-bphtb-penjelasan-arti-definisi-pembayaran-sanksi-perhitungan-dsb/
[11] Prof.Dr.Mardiasmo.MBA,Ak Perpejakan
Revisi 2006 hal 334
[12] http://www.kanwilmalang.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=8:seri-04-ketentuan-bagi-pejabat-yang-t&catid=11:bphtb&Itemid=10
[13] http://www.pajakbumidanbangunan.com/2009/10/pengajuan-bphtb.html
[14] http://www.pajakbumidanbangunan.com/2009/10/4142545.html
[15]http://www.google.co.id/#q=contoh+permasalahan+ssb&hl=id&biw=1024&bih=544&sa=2&fp=d3b3af5896ffdfd
Kalau warisan dari paman ke keponakannya termasuk warisan garis lurus tidak? Harus pakai npoptkp yg 60juta atau 300juta ya?
BalasHapus